Mengingat Ayah sebenarnya akan selalu menjadi cerita manis dalam kehidupan ku. Ayah yang menjadikan aku anak kesayangannya, walaupun tak sekalipun aku memanfaatkan keadaan tersebut untuk bermanja-manja. Menjadi kesayangan menurutku waktu itu adalah menjadi anak yang berprestasi, penurut dan patuh. Begitulah sampai sesaat sebelum kepergian beliau, aku menjadi satu-satunya kesayangan Ayah.
Ayah dalam ingatan ku adalah sosok yang selalu berpakaian hitam. Mulai dari baret, kemeja, celana rapih, kaos kaki sampai sepatu dan juga tas nya berwarna hitam. Ibu bilang ayah berpakaian seperti itu karena banyak mengalami kehilangan. Walau terkadang berubah keras, ayah tetaplah ayah, yang menimangku di pangkuan saat putri bungsunya yang cengeng ini menangis sesenggukan.
Ayah pulang ke rumah sekali sebulan. Buah-buahan mulai dari jeruk, apel, salak, atau apapun yang sedang musim saat itu menjadi oleh-oleh yang selalu kutunggu. Setiap kepulangan ayah, meja makan akan penuh dengan bermacam lauk pauk. Yah walaupun harus rela tidak menonton kartun di hari minggu, atau tidak bisa berleha-leha nonton televisi karena Big Boss sedang di rumah. Ataupun harus manut mengikuti jadwal tugas harian. Tak apa. Ayah di rumah paling lama hanya seminggu sebelum kembali ke Riau, tempat beliau menghabiskan waktunya dengan membuka warung nasi goreng yang super lezat. Seminggu bersama Ayah dengan segala kedisplinannya tapi dijamu dengan banyak makanan, sungguh syukur luar biasa buat ku yang masih kecil.
Waktu berlalu usia ku pun bertambah dan minat ku pun teralih. Kotak pensil, sepatu atau tas hadiah kenaikan kelas tak lagi menarik hati. Aku ingin lebih. Aku ingin mendapat hadiah handphone di hari kelulusan ku nanti. Permintaan pertama ku yang tidak berasal dari tabungan sendiri. Aku meminta ayah berjanji, dan Ayah setuju. Aku yakin saat itu yang tumbuh dalam hatiku adalah rasa iri dan minder. Iri pada kakak yang prestasi nya dibawahku tapi bisa memiliki handphone begitu dia lulus SMA. Minder pada teman sekolah yang sudah lebih dulu memiliki benda praktis itu. Betapa praktisnya bisa menelpon ke rumah saat harus pulang malam dari perlombaan diluar kota. Betapa praktisnya berkirim pesan diantara teman dan keluarga.
Tapi mendapatkannya benar-benar jauh dari praktis. Aku lulus dengan nilai terbaik di sekolah, lulus di jurusan yang baik lewat jalur SPMB di universitas negri, tapi aku tidak lulus dalam permintaan ku. "Belum ada rejeki.." dan atau alasan-alasan lain yang tak lagi ku ingat. Amarah dapat ku tahan dalam waktu cukup lama. Harus rela berbagi handphone dengan kakak yang sudah entah berapa kali berganti ponsel. Jadi saat itu aku membeli kartu perdana yang dipakai bergantian di hape kakak (belum ada fasilitas dual sim card saat itu).
Satu malam aku mengirim pesan singkat ke nomer ayah. Pesan yang isinya, kapan ayah akan membelikanku ponsel? Pesan yang membuat Ayah murka! Beberapa saat setelah itu kakak menelponku, memberi kabar bahwa ayah sedang sakit. Terbaring lemas di rumahnya di Pekanbaru. Ayah marah dan menelpon ibu ke rumah. Aku takut? Tidak! Aku lebih marah. Pertama karena tidak dikabari tentang ayah dan kedua karena aku hanya sedang menagih janji ayah. Janji yang belum dipenuhi. Permintaan pertama ku!
Aku pulang ke rumah, kakak mencerca ku sedangkan ibu hanya menangis. Aku diam saat ibu membawa ku ke Pekanbaru. "Minta maaf pada Ayah..", itu pesan ibu. Aku meminta maaf memang tapi tak pernah tulus. Tanpa aku tahu itu adalah kesalahan terbesar ku.
Beberapa bulan kemudian Ayah pergi, menyusul kepergian nenek yang hanya berselang satu tahun. Ayah meninggal di rumahku, rumah kami, tapi dikubur di Pekanbaru sesuai permintaan anak-anaknya (saudara tiriku). Air mataku pecah saat handphone ayah diserahkan kepadaku. Nokia 3310 yang selalu berbunyi sangat nyaring dengan getar yang bisa mengalahkan gempa. Ponsel yang selalu menemani ayah dengan casing yang sering berganti. Handphone yang sering kupinjam untuk bermain Snake II. Handphone yang selalu standby di saku baju ayah, menjadi buah tangan terakhir untukku, untuk memenuhi janji yang tak bisa ditepati. Handphone baru untuk hadiah kelulusan ku berubah menjadi kesalahan terbesarku. Kesayangan ayah sudah tak ada lagi. Ayah pun sudah tak ada.
Handphone pertama yang ku pakai sangat lama. Ku jaga selayaknya aku menyayangi ayah. Aku gunakan sebaik mungkin seolah ayah akan marah kalau casing nya tergores. Ku simpan di tempat yang mudah terjangkau oleh ku. Dan tak pernah bisa diganti walau dengan hape yang lebih bagus. 3 tahun saja aku bersama nya, sebelum aku mendapat hape lungsuran dari kakak dan kemudian aku bisa membeli handphone sendiri. Banyak kenangan tersimpan di dalamnya, yang manis dan pahit. Namun ayah selalu ada disana, didalam semua kenangan baru dan lama.