Tujuh minggu sudah saya mengenalnya. Empat minggu lamanya jantung saya selalu berdegup kencang saat menyebut namanya, bersirobok dengan matanya, atau mendengarnya menyebut nama saya dengan sapaan khasnya. Dua minggu lalu saya baru mengetahui bahwa dia sudah ada yang punya. Walau sebelumnya sudah ada beberapa potret dia dan seorang gadis -yang akhirnya saya ketahui sebagai mantan pacanya- itu tak membuat hati saya rapuh dan jatuh. Saya tetap menyukai dan mendambanya hingga tiga minggu yang lalu. Sebelum saya membaca post di jejaring sosialnya yang menyatakan rasa rindu pada seorang gadis lain. Bukan yang ada dalam potret. Gadis manis yang pastinya takbisa saya tandingi. Gadis yang membalas pesan bahwa dirinya juga rindu pada lelaki itu. Lelaki yang membuat saya terbuai dan terjatuh di waktu yang bersamaan.Tentu, lelaki itu tidak bersalah. Dia tak tahu atau mungkin tak kan tahu tentang perasaan saya padanya. Rasa dimabuk cinta seperti seorang remaja.
Sekarang hanya hambar yang tersisa saat bersamanya. Kedekatannya dengan teman perempuan lain pun sudah tak membuat saya panas hingga ke ubun ubun. Meski terkadang dia masih begitu mempesona, tapi saya tahu bahwa saya harus menjaga jarak agar tak lagi terbuai dalam mimpi. Mimpi yang menggelayut indah. Mimpi yang hanyalah mimpi. Sedangkan kenyataan tetaplah kenyataan. Dan waktu tak mungkin bisa kembali.
Bandung, 29 Oktober 2011