Menghirup
aroma kopi sesaat setelah airpanas diguyur ke dalam cangkir adalah favoritku.
Aroma nya ku jadikan terapi saat rasa ngantuk menominasi sore sore dalam hujan.
Aroma nya ku jadikan pelepas rindu saat hari hari tanpa dia. Ya, dia. Yang
telah membuat ku jatuh cinta lagi pada kopi dengan lebih.
Aku
telah terbiasa dengan aroma kopi semenjak kecil. Ibuku yang seorang guru selalu
meminum segelas kecil kopi panas di pagi hari sebelum berangkat kerja. Kopi
hitam pabrikan yang dibeli di pasar daerah kami itu pintar sekali diracik Ibu.
Aku? Jangan harap. Aku takbisa meracik kopi hitam menjadi minuman dengan aroma
yang mengalahkan buatan Ibu. Juga rasa yang takpernah ku nikmati jikalau itu
kopi hitam. Kesukaan ku adalah mencecap satu dua kopi Ibu. Hebatnya walaupun
sudah dingin rasa kopi buatan Ibu tak luntur. Tak seperti kopi instan yang
sering kunikmati sekarang. Aku taksuka kalau kopi ku dingin. Aku akan
menghabiskannya saat sedang hangat-hangat kuku. Tidak seperti dia memang.
Sering dia membiarkan kopinya dingin. Pernah pula tak dihabiskannya. Mubazir.
Pertama pernah ku cicip kopi dingin yang ditinggalkannya itu, tak enak. Itu
kali pertama ku bikinkan kopi untuknya. Dua pertiga bagian gelas. Kebanyakan.
Setelah itu tak pernah salah, selalu hanya setengah gelas. Kental dan aromanya
sempurna di hidung ku. Dan juga dihabiskannya.
Aku
pernah bertanya padanya. Bagaimana kalau ku belikan cangkir dari porselen,
pasti akan lebih sedap menikmati kopi dibanding gelas plastik? Dia bilang,
tidak usah. Aku menurutinya,
lagipula susah mencari cangkir kecil atau mug kecil yang pas takaran kopi kami.
Ah, kami. Berapa lama aku menggunakan kata itu. Kami. Aku dan dia. Karena sore
ini aku sendiri. Menghabiskan kopi ku sendiri. Tak ada asap rokok nya yang
pasti hadir saat kopi menemani kami. Tak ada riuhnya saat mencari asbak. Tak
ada kopi yang dibiarkan dingin. Karena kopi ku telah ku tenggak habis di tengah
paragraph kedua tadi. Masih tak bisa membiarkannya dingin. Cukup hangat-hangat
kuku. Itu favoritku. Dia juga, favoritku.
Kalijati-Antapani, 11 februari 2014
No comments:
Post a Comment